Minggu, 30 Juni 2013

Mewujudkan Hak Perempuan atas Kesehatan Reproduksi dan Seksual sebagai HAM


Persoalan Kesehatan Reproduksi Perempuan

Di dalam konferensi kependudukan sedunia, di Kairo 1994, diakui bahwa Kesehatan reproduksi tidak tercapai di banyak negara di dunia karena faktor-faktor sebagai berikut: tingkat pengetahuan yang tidak mencukupi tentang seksualitas serta informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang tidak tepat atau kurang bernilai; kelaziman perilaku seksual yang berisiko tinggi; praktek-praktek sosial yang diskriminatif; sikap-sikap negatif terhadap perempuan dan anak perempuan; dan kekuasaan terbatas yang dimiliki banyak perempuan dan anak perempuan atas kehidupan seksual dan reproduksi mereka.”
Selama ini pemerintah di banyak tempat, khususnya di Indonesia, hanya melihat soal seksualitas dan reproduksi manusia dalam kepentingan kekuasaan-kontrol kependudukan agar berdaya guna secara ekonomi dan politik. Khususnya mengontrol tubuh –’kesuburan’- perempuan (contoh: Program KB- yang menempatkan perempuan sebagai objek).

Sebaliknya, pendekatan humanisme dan HAM dalam melihat soal kependudukan dan soal-soal pembangunan, menempatkan manusia (laki-perempuan) sebagai individu yang memiliki otonomi untuk mengontrol tubuh dan seksualitasnya serta memiliki hak untuk menikmati standar tertinggi dari kesehatan baik secara fisik, psikis maupun sosial, yang dilindungi oleh negara-negara.

Pendekatan diatas yang merupakan koreksi terhadap pendekatan yang selama ini ada, tercermin dalam Landasan Aksi yang merupakan hasil konferensi kependudukan dunia di Kairo tahun 1994 (ICPD 1994). Di dalamnya memberikan defenisi Kesehatan Reproduksi, sebagai berikut:
“Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, dan bukan hanya ditandai dengan tidak adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya. Karena itu, kesehatan reproduksi juga berarti seseorang dapat mempunyai kehidupan seksual yang aman dan memuaskan dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan apakah mereka ingin melakukannya, bilamana dan seberapa seringkah.
…Termasuk keadaan terakhir ini adalah hak pria dan wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhada cara-cara keluarga berencana yang aman, efektif, terjangkau, dan dapat diterima, yang menjadi pilihan mereka, serta metode-metode lain yang mereka pilih untuk pengaturan fertilitas yang tidak melawan hukum; dan hak untuk memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang tepat, yang akan memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan dan melahirkan anak; dan memberikan kesempatan yang terbaik kepada pasangan-pasangan untuk memiliki bayi yang sehat….

Kesehatan Reproduksi juga mencakup kesehatan seksual, yang bertujuan meningkatkan status kehidupan dan relasi-relasi personal, bukan semata-mata konseling dan perawatan yang berhubungan dengan reproduksi dan penyakit menular seksual.
Mengingat rumusan diatas, Hak-Hak Reproduksi mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang sudah diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia internasional, dan dokumen-dokumen konsensus Perserikatan Bangsa-Bangsa lain yang relevan. Hak-hak ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi semua pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka dan mempunyai informasi dan cara untuk memperolehnya, serta hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini juga mencakup hak semua orang untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia.
Mengapa advokasi kesehatan reproduksi perempuan?
Konstruksi sosial (atas SEKSUALITAS) yang eksis di masyarakat patriarkhi di manapun – telah menjauhkan perempuan dari kemampuan-nya untuk mengontrol tubuh dan seksualitasnya termasuk kesehatan reproduksinya. Fenomena kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk adalah salah satu wujudnya (KDRT, kekerasan seksual termasuk marital rape, perkosaan, perdagangan perempuan/anak perempuan, eksploitasi prostitusi)—terjadi hampir di semua penjuru dunia.
Data kasus kekerasan berbasis gender/kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun KOMNAS Perempuan secara nasional –memperlihatkan peningkatan setiap tahunnya. Catatan yang dikeluarkan terakhir, Tahun 2008 meningkat 213% atau sejumlah 54.452 dari sebelumnya 25.522 kasus (2007) dan 22.512 kasus (2006). (Lap Komnas Perempuan, Maret 2009).
Kasus KDRT menempati posisi tertinggi (52%) dimana kekerasan terhadap istri (KTI) secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran oleh suami merupakan yang dominan (95%). Hal ini menunjukkan lembaga perkawinan tradisional (patriarkhi) bermasalah dan cendrung diskriminatif terhadap perempuan. Giddens dalam “The Third Way”telah menggambarkan hal tersebut : “Perkawinan tradisional didasarkan pada ketidaksetaraan pria dan wanita dan kepemilikan legal suami atas isteri. Wanita adalah harta bergerak dalam hukum Inggris, sampai beberapa puluh tahun kemudian di abad ini. Anak-anak pun demikian. Selain itu, keluarga tradisional pada umumnya melibatkan standar ganda dalam urusan seksual. Wanita yang telah menikah diharapkan ‘penuh kebajikan’, sebagian karena pentingnya memastikan paternitas. Sementara pria diberi hak seksual lebih besar”. (hal 105)
Di Indonesia, isteri bukanlah subjek hukum (KUHPer) sampai lahir UU No.1/1974 tentang Perkawinan. Sementara dalam UU Perkawinan yang sama, suami diposisikan sebagai kepala rumah tangga, sedang isteri sebagai ibu rumah tangga (domestikasi perempuan). (Pasal 31 dan 34). Selanjutnya, suami dibenarkan secara hukum dan sosial untuk menikah hingga empat isteri. Di luar itu, mereka masih punya privilege mendatangi pelacuran, melakukan perselingkuhan dan pada saat yang sama lebih bebas dari stigma, lain halnya seperti yang dijatuhkan pada perempuan (perempuan kotor, binal, pelacur, istri tidak setia, ‘nusyuz’ (durhaka)).
Seksualitas perempuan harus diarahkan pada prokreasi dalam perkawinan: harus fungsional menjamin kesuburan dan keturunan, mampu melayani kepentingan seksual suami.
Syarat poligami dalam pasal 4 dan 5 UUP menyebutkan bahwa izin poligami dapat diberikan pengadilan dengan syarat istri tidak dapat menjalankan kewajibannya: tidak dapat melayani, tidak dapat melahirkan keturunan.
Perempuan sebagai obyek hasrat dan kepentingan seksual sekaligus menjamin keturunan dari laki-laki (dibungkus dalam idealisasi perkawinan heteroseksual-patriarkhi).
Sebelum lahir UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, kekerasan seksual dalam dalam perkawinan tidak pernah dipertimbangkan sebagai kejahatan (Pasal 285 KUHP).
Bahkan setelah lahir UU PKDRT, kasus-kasus kekerasan seksual tetap terjadi pada perempuan dan sulit mengakses keadilan karena dianggap tabu, ketergantungan istri (nafkah, psikis) stigma sosial, tidak ada dukungan dari keluarga, dan seterusnya.
Beberapa bentuk kekerasan seksual di dalam perkawinan:
a.       Memaksakan hubungan seksual dengan ancaman tidak diberi nafkah
b.      Melakukan hubungan seksual dengan cara tidak wajar (adegan porno mengarah Seks Maniak)
c.       Memasukkan benda-benda ke dalam vagina (terong, mentimun, olesi balsem)
d.      Memaksakan hubungan seksual padahal punya penyakit kelamin karena suami sering “jajan”

Dampak pada kesehatan reproduksi perempuan:
- Vagina mengalami gatal-gatal
- Vagina terasa nyeri
- Vagina memar
- Vagina berdarah
- Vagina bernanah
- Terinfeksi penyakit kelamin
Dalam hukum tentang perkosaan: tubuh perempuan direduksi sebatas bagian tubuh tertentu (vagina). Perkosaan dibatasi pada konteks persetubuhan. Harus dibuktikan adanya penetrasi penis ke vagina: adanya sperma, luka/robek selaput dara.
Tidak pernah diakomodir bentuk-bentuk lain, seperti: pemaksaan oral, penggunaan benda, penggunaan bagian tubuh diluar penis, dan seterusnya.
Bahwa perkosaan sebagai pemaksaan yang tidak melulu bersifat fisik tidak pernah dianggap ada (karena pengalaman perempuan didiskualifikasikan dalam hukum).
Kekerasan seksual yang merupakan pelanggaran atas integritas tubuh, di dalam hukum tidak dikategorikan sebagai kejahatan terhadap orang, tetapi sebagai pelanggaran kesusilaan. Nilai masyarakat yang dijadikan patokan –konstruksi seksualitas maskulin.

Tingginya Angka Kematian Perempuan/Ibu (AKI)
Semua situasi yang telah dipaparkan diatas pada dasarnya adalah merupakan pelanggaran atas hak-hak reproduksi dan seksual perempuan. Problem yang juga sangat memprihatinkan dan mencolok mata dari kesehatan perempuan adalah fenomena tingginya angka kematian perempuan/ibu (AKI) di Indonesia. Yakni (373/100.000 kelahiran hidup) . Tingginya AKI di Indonesia seringkali hanya dilaporkan sebagai akibat dari pendaharan (46,7%), keracunan kehamilan (14,5%) dan infeksi (8%) (Depkes 1996). Namun, analisis lanjut dari Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 menunjukkan bahwa aborsi berkontribusi 11% terhadap kematian ibu di Indonesia. Angka ini mungkin lebih besar lagi mengingat tidak dilakukannya pencatatan data resmi tindakan aborsi, terutama aborsi tidak aman (unsafe abortion). Gulardi mensinyalir 10-50 persen dari AKI dikarenakan aborsi yang tidak aman (WHO: Gulardi, 2001). Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI, memperkirakan 50% dari AKI dikarenakan aborsi yang tidak aman (Kompas 2002). Situasi ini terpaksa ditempuh oleh perempuan karena minimnya akses kesehatan akibat tiadanya pengaturan yang jelas terhadap aborsi. Adapun mayoritas perempuan yang rentan menjadi korban adalah mereka yang sudah menikah (87%), yang melakukan aborsi karena berbagai faktor darurat/terpaksa yang tidak semata-mata karena faktor medis seperti gagal KB (36%), tekanan ekonomi dan psikososial, usia ibu yang terlalu tua atau muda, jarak kehamilan yang terlalu dekat, dan trauma melahirkan .
Masalah tingginya AKI merupakan keprihatinan bersama di banyak tempat. Karena itu pada kesepakatan dunia mengenai Tujuan Pembangun-an Milenium (MDG’s) yang ditargetkan terwujud pada tahun 2015, –dimana pemerintah Indonesia juga ikut di dalamnya,– menempatkan masalah penurunan tingginya kematian ibu ini sebagai tujuan kelima dari MDG’s yang harus dicapai, yakni ¾ -nya dari angka pada tahun 1990. Dengan asumsi bahwa rasio tahun 1990 adalah sekitar 450, maka target MDG’s adalah sekitar 110 pada tahun 2015 . Target tersebut tampaknya masih sulit dicapai. Bukannya malah menurun, dalam beberapa laporan yang ada bahkan jumlah AKI semakin meningkat, yakni 420/100.000 kelahiran. Ini angka yang memprihatinkan. Bandingkan dengan Filiphina, 230, Malaysia, yang hanya 62, Singapura, 14. (UNFPA, 2008. State of The World Population Report)
Fakta kematian perempuan tersebut jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia yakni:
1. Hak untuk hidup bagi perempuan yang dalam proses reproduksinya menghadapi resiko gangguan fisik dan mental, kecacatan dan kematian, dan
2. Hak untuk mendapatkan pelayanan standar yang berkualitas, termasuk pemanfaatan teknologi kesehatan reproduksi dan informasi terkait, tanpa adanya diskriminasi.

Layanan aborsi yang aman harus dilihat sebagai suatu kebutuhan perempuan yang bersangkutan untuk memutuskan apakah kehamilannya dapat dilanjutkan atau tidak (bila mengancam atas kesehatannya secara fisik, mental dan sosial) atau karena kondisi darurat yang akan mengancam kesehatan dan atau bahkan nyawa perempuan. Konseling dan informasi harus diberikan bagi kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan sehingga sedini mungkin dapat diantisipasi.
Penghormatan dan Perlindungan atas HAM Perempuan sebagai Prasyarat Atasi Problem Kesehatan Perempuan
Peningkatan HAM perempuan merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar untuk mengantisipasi persoalan kesehatan perempuan.Meningkatkan penghargaan/penghormatan serta pengakuan akan hak-hak asasi manusia perempuan merupakan hal yang krusial dan prasyarat bagi pemenuhan kesehatan perempuan. Terutama mengembalikan kapasitas perempuan untuk menikmati hak-hak fundamentalnya sebagai manusia yang otonom, dan memiliki kontrol penuh atas integritas tubuh/seksualitasnya.
Yakni, bagaimana perempuan terbebas dari kehamilan yang tidak diinginkan dengan meningkatkan hak-hak perempuan atas otonomi tubuhnya. Bagaimana terhindar dari penyakit (IMS/ISR termasuk dari HIV/AIDS) dan ancaman kematian. Bagaimana perempuan terbebas dari kekerasan termasuk hubungan seksual (hak untuk menikmati hubungan seksual yang aman (safe), terlindungi (protected) dan dikehendaki (wanted).
Dalam Konferensi Perempuan sedunia pada tahun 1999, ditegaskan kembali bahwa Hak-hak asasi perempuan adalah “mencakup hak perempuan untuk memiliki kontrol dan keputusan secara bebas dan bertanggungjawab atas persoalan-persoalan berkenaan dengan seksualitas mereka, termasuk kesehatan reproduksi dan seksual, bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan. Relasi yang sama antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan hubungan seksual dan reproduksi, penghargaan dan persetujuan yang sama, dan saling bertanggungjawab terhadap perilaku seksual serta konsekuensi-konsekuensinya” (Deklarasi Beijing, Platform For Action, 1999)
Begitupun dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1984. Bahwa “Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pegucilan, pembatasan yang mempunyai tujuan atau pengaruh yang akan mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM bagi/oleh perempuan, terlepas dari status perkawinannya”. (Pasal 1).
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh kelompok perempuan untuk memperluas pengakuan atas Hak-hak Reprodukasi perempuan, antara lain: Memperjuangkan lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (memasukkan kekerasan seksual dalam rumah tangga sebagai perbuatan pidana). Perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan dari praktek-praktek perdagangan orang (memasukkan eksploitasi pelacuran dan seksual sebagai modus dan tujuan trafiking) dalam UU No. 21 Tahun 2007. Upaya amandemen UU No. 1 Tahun 1974, terutama untuk menghapus ketentuan soal domestikasi perempuan, poligami, batas usia perkawinan bagi anak perempuan. Serta, mendorong Revisi UU Kesehatan dengan memasukkan bab Kesehatan Reproduksi —dan telah disahkan pada tanggal 14 September 2009 .


Advokasi UU Kesehatan
Saat ini, masyarakat Indonesia sudah memiliki UU Kesehatan baru yang merupakan revisi dari UU Kesehatan yang lama (UU No.23 Tahun 1992) yang dipandang sudah tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. UU Kesehatan yang disahkan pada tanggal 14 September 2009 telah melalui proses pembahasan yang cukup lama. Draft awal diajukan pada tahun 2000 ke Komisi VII DPR, kemudian ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan sejumlah pembahasan hingga akhirnya disetujui melalui Sidang Pleno Komisi VII. Namun baru pada tahun 2009 lah, RUU Kesehatan dibahas di Pansus Komisi IX yang membidangi isu kesehatan. Pembahasan pun dilakukan di penghujung tahun masa persidangan DPR, seakan-akan hanya kejar tayang menjelang berakhirnya DPR periode 2004-2009. Kelompok perempuan dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan bersama-sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang peduli, berupaya mengawal RUU Kesehatan tersebut, guna memastikan agar hak-hak kesehatan masyarakat khususnya memasukan pengakuan atas hak-hak kesehatan reproduksi perempuan dalam RUU tersebut. Selain itu berusaha mempromosikan pendekatan HAM dan kesetaraan gender dalam kesehatan.
Keberhasilan advokasi dan beberapa catatan kelemahan
Setidaknya melalui UU Kesehatan yang baru, Kesehatan Reproduksi telah dimuat menjadi satu bab tersendiri. Adapun definisinya: “Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan”. (Pasal 71 (1))
Kesehatan reproduksi meliputi:
a.       Saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan.
b.      Pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c.       Kesehatan sistem reproduksi (2).
Kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Setiap orang berhak:
a.       Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. (catatan: masih diskriminatif)
b.      Menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dng norma agama. (catatan: harus dicermati jgn sampai menjadi diskriminatif bias tafsir agama tertentu)
c.       Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama. (catatan: dijadikan legitimasi untuk tidak memenuhi hak kespro perempuan—contoh: kebutuhan layanan aborsi aman berbasis konseling bagi kasus-kasus kesehatan yang darurat)
d.      Memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 72
Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan hukum yang berlaku. (Pasal. 74 (2)). (catatan: bagaimana kalau tafsir agama tertentu atau juga hukum positif seperti KUHP justru bertentangan dengan pemenuhan kesehatan reproduksi. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum )
Ketentuan aborsi (Pasal.75)
1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2. Pengecualian berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (catatan: tidak mempedulikan faktor-faktor lain non medis dan psikososial—tidak ada solusi. Tidak akan efektif kurangi AKI)
3. Tindakan aborsi yang dikecualikan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

Aborsi yang dikecualikan tersebut hanya dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terkahir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; (catatan: batasan umur kehamilan 6 minggu tidak akan efektif karena pada usia tersebut perempuan umumnya belum menyadari dan tes urine belum menampakkan hasil positif.)
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan (catatan: izin suami menjadi problematis, karena relasi gender yang timpang dan dominasi laki-laki dalam keluarga patriarkhi).
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.

Pasal 77: Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi (sebagaimana yang dikecualikan) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan perundang-undangan.



Catatan: UU Kesehatan masih diskriminatif
Tiadanya kepastian jaminan kesehatan untuk semua orang
Kelemahan UU Kesehatan terlihat dari masih adanya pasal-pasal yang tidak memberi kepastian hukum yang sama bagi semua orang untuk mengakses layanan kesehatan tanpa diskriminasi. Contohnya dalam Pasal 81 butir a. “Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangannya yang sah.” Rumusan ini jelas diskriminatif, karena mereduksi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual menjadi direduksi atas dasar status perkawinannya, dan bertentangan dengan Pasal 28 H (1) UUD 1945 yang menegaskan ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Moralisasi kesehatan
Terdapat pasal-pasal dalam UU yang digantungkan pada norma-norma agama sehingga tidak ada kepastian hukum bahwa kesehatan adalah semata isu kesehatan yang merupakan hak asasi fundamental bagi setiap orang tanpa melihat latar belakang serta status sosialnya (marital status). Sekurang-kurangnya ada 4 pasal yakni Pasal 72, pasal 74, dan pasal 77, yang dikaitkan dengan norma-norma agama. Contoh Pasal 74 ayat 2 menyebutkan: “Setiap pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama dan ketentuan hukum yang berlaku”
Faktanya, perempuan terancam kematian karena penyakit terkait organ reproduksinya. Salah satunya kanker leher rahim yang menempati peringkat tertinggi penyebab kematian perempuan Indonesia. Namun pencegahan tidak dapat dilakukan sejak dini akibat stigmatisasi/ perlakuan diskriminatif dari petugas kesehatan terhadap perempuan dewasa lajang yang ingin memeriksakan kesehatan reproduksi mereka seperti papsmear. Seolah-olah kesehatan hanya diperuntukkan bagi isteri atau seorang ibu dalam relasi perkawinan. Diluar itu, terdapat stigma yang menyudutkan perempuan yang pada dasarnya berhak atas layanan kesehatan yang sama.
Kriminalisasi perempuan
UU Kesehatan telah memberikan sanksi yang berlebihan atau over criminalisasi terhadap perempuan yang terpaksa melakukan aborsi karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya meneruskan kehamilan. Pasal 117 memberikan hukuman penjara hingga 15 tahun dan pidana denda 10 milyar bagi pelaku aborsi diluar ketentuan RUU yang mengecualikan aborsi hanya untuk:
1. Kondisi kedaruratan medis dan
2. Korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih dibawah 6 (minggu) disertai rekomendasi dari lembaga agama dan penetapan panel agama/tokoh agama. Hukuman ini jauh lebih berat dari KUHP yang memberi ancaman maksimal 4 tahun. Dengan ancaman diatas 5 tahun, maka perempuan dapat langsung ditahan dalam kondisi sakit. Sanksi denda yang tidak masuk akal juga memungkinkan terbukanya kesempatan korupsi mengingat kebutuhan aborsi yang besar di masyarakat akibat faktor kemiskinan, kegagalan KB, serta kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).

Rumusan diatas sama sekali tidak akan efektif mengurangi Angka Kematian Ibu di Indonesia, 420/100.000 kelahiran hidup , yang berarti setiap 1 jam terdapat 2 perempuan hamil yang meninggal akibat pendarahan sewaktu persalinan termasuk akibat praktek aborsi tidak aman yang menyumbang 10-50% kematian perempuan.(WHO: Gulardi, 2001). Dilakukan kebanyakan oleh perempuan yang menikah (87%) antara lain karena gagal KB. Adanya persyaratan rekomendasi lembaga agama dan penetapan panel ahli/tokoh agama akan menyulitkan bagi perempuan yang terncam kesehatannya bahkan nyawanya dan menambah trauma bagi perempuan korban perkosaan. Ketentuan ini akan memperlambat penanganan yang seharusnya dapat diberikan secara cepat untuk kepentingan kesehatan pasien. Rekomendasi Komite Cedaw: agar setiap negara menghapus kriminalisasi perempuan yang melakukan aborsi dalam upaya untuk sehat, hidup dan bertahan hidup (survive) yang merupakan hak-hak asasinya.
Intinya, ketentuan aborsi dalam UU Kesehatan tidak dikembalikan pada kebutuhan perempuan akan kesehatan (fisik, mental, sosial). Tidak sepenuhnya menempatkan isu tersebut sebagai problem kesehatan perempuan.
Faktanya, 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang didampingi lembaga penanganan korban kekerasan mengalami dampak yang mengganggu kesehatan jiwanya hingga upaya percobaan bunuh diri. Hampir 50% korban perkosaan setiap tahun terkena PMS dan 20% mengalami kehamilan yang menimbulkan trauma dan berupaya melakukan pengguguran dengan cara-cara yang mengancam jiwanya (Data WCC Mitra Perempuan, 2006 dan LBH-APIK Semarang)
Kesimpulan
UU kesehatan meski ada terobosan baru, namun masih –dalam beberapa ketentuannya– melanggar prinsip-prinsip HAM yang sudah diatur dalam instrumen hukum nasional seperti UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU NO.7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No.12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi hak Sipil dan Politik. Aturan Hukum Nasional tersebut menegaskan bahwa Negara bertanggungjawab menjamin terpenuhinya hak warganegaranya atas kesehatan tanpa diskriminasi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar